Friday, December 21, 2012

Camar Biru

Judul : Camar Biru : Cinta Tak Selalu Tepat Waktu
Penulis : Nilam Suri
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : November 2012
Bahasa : Indonesia
ISBN : 9797806030
Rating : 4 out of 5 Stars

Ini cerita tentang sebuah bujursangkar, yang dulu pernah begitu solid namun kini terpecah karena sebuah tragedi.

Ini cerita tentang Nina, salah satu sisi bujur sangkar yang tersisa. Sang putri gulali dengan warna pastel yang berubah jadi manusia kelabu berhati biru. Nina yang hidup dalam kurungan kenangan masa lalu. Nina yang sekadar "bertahan" untuk hidup namun juga ingin menghilang.

Ini juga cerita tentang Adith, sisi lain yang tersisa dari bujur sangkar. Adith memang bukan pangeran tampan berkuda putih-nya Nina, tapi Adith adalah pangeran yang selalu setia di samping Nina. Adith yang tidak membiarkan Nina menghilang.

Berawal dari pemenuhan sebuah janji yang terucap sepuluh tahun lalu, kini Adith dan Nina belajar untuk memaafkan masa lalu, berani menapak masa depan dan menerima satu sama lain dalam hati masing-masing.


Pertama kelar baca buku ini, saya bengong sesaat. GIMANA CARANYA BIKIN REVIEW BUKU INI SECARA FAIR TANPA CURCOL???

Well...anyhoo this is my attempt. Mudah-mudahan sih fair dan gak jadi curcol. Dan mudah-mudahan juga gak ada spoiler. Tapi kalo pun iya, you've been told before :p.

Satu, saya suka sama penggalan lagu-lagu yang ada di tiap bab, fits my taste. Terutama buat lagu "Paint It Black"nya The Rolling Stones yang pernah jadi soundtrack hidup saya dan "Blackbird"nya Beatles yang masih menjadi soundtrack saya.

Dua, saya kurang nyaman dengan gaya bahasa loe-gue yang dipake di buku ini. Saya ngerti kalo percakapan antar tokoh pake gue-loe, ato ketika yang bernarasi adalah tokoh pria, tapi saat semua tokoh menggunakan gue-loe, maka yep...saya terganggu.

Tapi saya salut. Walopun pake bahasa gue-loe, percakapan antar tokoh di buku ini berbobot. Bahasa ringan yang digunakannya membuat pesan yang ingin disampaikan jadi "kena". Saya juga suka analogi-analogi yang digunakan oleh Nilam. contohnya percakapan mengenai Dufan berikut ini :

"Lo tahu nggak kenapa gue bilang tempat ini sebagai tempat kebahagiaan semu?" "Karena menurut gue, orang - orang yang sedang menaiki wahana ini sebenarnya sedang setengah mati ketakutan. Mereka sebenarnya sedang setengah mati ketakutan dan berusaha menutupinya dengan tawa."
Tiga, masih soal gaya bahasa. Sama kayak mas Tomo, saya nggak ngerti kenapa Sinar membahasakan diri dengan "saya" ke Nina. Mereka sangat akrab bukan? Kenapa nggak pake "gue-lo" aja? Ato paling nggak "aku-kamu" lah. "Saya" itu kesannya resmi banget untuk seorang istimewa yang dikenal selama 20 tahun lebih.

Empat, saya nggak nyaman dengan multi POV yang dipake buku ini.
Don't get me wrong. Saya suka kok baca cerita yang pake POV 1 ato POV berapa pun itu. Saya juga suka kalo cerita pake multiple POV 1 yang membuat setiap tokoh utama ber-narasi seperti yang terjadi di Perfect Chemistry-nya Simone Elkeles ato Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Fine with that.

Tapi ketika sebuah buku mengambil multiple POV 1 lalu beralih ke POV 3 dan balik lagi ke POV 1, then I have a problem with that. Penulisnya berasa Tuhan yang bebas mengatur nasib para tokohnya.

Lima, sama seperti sebagian besar reviewer, saya juga gak suka dengan bagian epilog itu. Cerita ini akan lebih nendang kalo ditutup di bab sebelum epilog. I prefer a story that tied with a red ribbon but not too tight please.

Enam, saya suka dengan analogi asap rokok di buku ini.
"Gue selalu percaya permintaan itu akan dikabulkan kalau dia bisa terbang semakin tinggi, nggak tahu kenapa. Mungkin kalau dia semakin tinggi, dia akan semakin mudah didengar. Karena nggak mungkin gue harus terus-terusan naik pesawat setiap kali punya permintaan, jadi jalan lainnya adalah dengan asap."
Seseorang juga pernah mengajarkan hal serupa pada saya. Namun bukannya menggunakan rokok, beliau menggantinya dengan balon gas. Saya sempat lupa dengan ajaran tersebut dan membaca bagian asap rokok membuka kenangan saya akan beliau. Thank you, Nilam, for bringing back that sweet memory.

Tujuh, uhm...jujur...saya kurang suka dengan covernya. Cantik sih, tapi gak secantik cover Gagas lain. Emang cover designer-nya bukan favorit saya ternyata.
Tapi itu gak penting.
Yang penting adalah : kok gambar yang ada di cover itu bangau kertas biru sih? Kan judulnya camar biru? #SebenernyaIniJugaGakPenting
Apa karena Gagas gak punya stok gambar camar kertas biru? Ah enggak kookk. Halaman dalam buku ini dipenuhi gambar camar kertas

Delapan, bosen rasanya harus bilang ini lagi dan lagi *sigh*, tapi saya gak suka banget deh dengan blurb di buku ini. Tipikal Gagas banget sih yang suka kasi blurb sok puitis berisi curahan hati salah seorang tokohnya tapi gak bakal dipahami maksudnya sama orang yang belum baca novel ini (Dan kenapa bahasa gw ribet giniii??)

Jujur aja, kalo saya lagi di toko buku, ngeliat cover buku ini dan baca blurb di back cover, saya gak bakal tertarik beli buku ini. Blurb-nya gak menjual. In fact, yang bikin saya ngeh sama buku ini adalah nama penulisnya dan review Mas Tomo.

Sembilan, hmm...twist di buku ini sebenarnya udah ketebak bahkan sejak awal. Dari sejak bab 5 ketika Nina bernarasi seperti ini :
"Dengan tetap menyisihkan malam penuh kabut lainnya, kabut mengerikan, yang juga dari sepuluh tahun lalu. Alasan sebenarnya kenapa gue membiarkan Adith membuat sumpah konyol itu, dan alasan kenapa gue menyetujuinya sekarang."
Lain kali coba clue-nya jangan ditaro sejak awal buku, mbak Nilam. Jadinya ketebak. Akan lebih bikin penasaran kalo cuma tokoh Adith aja yang berprasangka dan menebak-nebak sendirian. Biar pembaca (saya sih tepatnya) ikut menebak bersama Adith.

Sepuluh, saya suka dengan chemistry antar tokohnya, terutama chemistry Adith-Nina. Kerasa banget transisi perasaan mereka dari sahabat lama yang kemudian belajar membuka hati. Saya suka gimana Nilam perlahan membangun chemistry mereka hingga keduanya sadar bahwa mereka butuh yang "lebih" dari hubungan mereka selama ini.

Sebelas, saya berharap buku ini bisa lebih tebal sehingga Nilam bisa mengeksplorasi karakter Nina lebih dalam. See...Nina has some wrecked past yang mengubah karakter keseluruhannya. Saya berharap Nilam bisa menggambarkan perasaan dan trauma Nina lebih dalam lagi, tentang bagaimana dia mengatasinya atau bagaimana perjuangan dia untuk menerimanya.
Tapi saya juga paham kok perjuangan psikologis Nina bukanlah topik utama kisah ini. Dan saya juga paham kalo 279 halaman tidaklah cukup untuk mengeksplorasi hal tersebut, belum lagi ditambah cerita tentang Adith-Nina di masa sekarang.

Dua belas, saya suka analogi persahabatan bujur sangkarnya. I know it so well.

Saya pernah punya sebuah persahabatan seperti itu dalam hidup saya. Sebuah dekagon yang begitu solid dan bertahan 20 tahun lebih.
Tapi 2x campur tangan Thanatos dan sebuah "persilangan hati" meretakkan dekagon kami.

Beberapa memilih seperti Sinar, yang pergi menjauh namun tak bisa benar-benar lepas dari jaringan sisi dekagon yang tersisa.
Beberapa seperti Nina yang berusaha keras mempertahankan apa pun yang tersisa dari sebuah ikatan yang sudah retak, mengubahnya jadi oktagon bila perlu.
Saya?
Saya seperti Adith yang hanya diam dan menikmati sisi mana pun yang tersisa dari dekagon kami. Sama seperti Adith, saya tak berusaha menjauh, namun juga tak berusaha merekatkan apapun.
Dan karena itu, I feel Adith. Saya ngerti concern-nya ke Nina, juga rasa pahitnya pada Sinar yang memilih pergi.

Tiga belas, saya suka kalimat ini dari halaman 269 :
"Kadang, saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita cintai, berarti kitalah yang harus pergi. Mungkin membalikkan badan dan berlalu lebih mudah dibanding berdiri diam menatap punggung seseorang (atau dalam kasus gue, menatap batu nisan) yang berjalan menjauh."
I did that once.
Sayang saya gak seberuntung tokoh-tokoh dalam buku ini. Karena saat kembali, saya masih terjebak dalam same-old-brand-new problem. Should I go again? (woooiii....kok jadi curhat wooiiii? XD)

Empat belas, saya mempertanyakan maksud kalimat yang ada di halaman 4 : "Si Kunyuk itu pecandu kopi akut dan cuma mau kopi Sumatra-nya Starbucks".

Apa maksud "akut" pada kalimat di atas? Apakah Si Kunyuk baru-baru ini saja suka kopi? Ah nggaaakk kookk. Dari ceritanya jelas ditunjukkan Si Kunyuk sudah lama suka kopi.
Mungkin maksud Nilam adalah "kronis"?
Ato mungkin maksud Nilam, Si Kunyuk adalah pecandu kopi kelas berat?
Apa sih makna "akut" yang dimaksud?

Dan kenapa saya segitu bawelnya sama satu kata doang?

Simpel sih, karena saya liat banyak banget penggunaan yang salah pada kata "akut". Entah kenapa banyak yang berpikir "akut" artinya sudah parah. Sehingga saat saya bilang ke client saya kalo penyakit mereka adalah tipe penyakit yang akut, yang ada mereka jadi pucat dan panik.
Padahal akut kan merujuk pada suatu hal yang baru terjadi. Belum tentu jelek.

Dan sebelum saya salah kaprah sama maksud Nilam, mending saya tanya dulu kan?

Lima belas, kenapa saya kasi bintang 4 untuk novel ini?
Balik ke definisi goodreads dan definisi saya aja. Karena saya suka banget sama buku ini dan bakal saya baca ulang someday. Terutama kalo saya lagi mood untuk buku ringan yang beraura beautifully sad dan sadly beautiful kayak buku ini.

Fyuh...finally nemu juga buku terbitan Gagas yang bisa saya sukai dan tidak membuat saya merasa tertipu oleh covernya.

Enam belas, ini sih buat Sulis doang. Liiisss, ada buku Gagas bagus yang layak masuk koleksi niihh. X)

Udah ah. So far sih cuma 16 point ini yang keingat ("cuma" loe kateee, wiii?"). Kapan-kapan kalo masih ada yang perlu ditambah, ditambahain aaahh.
Reserved to be edited sometimes later yaaaa #berasaKaskus

7 comments:

  1. Wow... oke deh. Kesimpulan. Buku ini ga akan saya baca, hihi. :p

    ReplyDelete
  2. Sepertinya menarik.. Aku jarang suka sama buku Gagas, tapi yang ini sepertinya menarik. Ehehehe

    ReplyDelete
  3. @Oky : Kenapa, ky? Bermasalah dengan bahasa gue-loe nya ya?

    @nana : aku juga jarang suka sama buku gagas. Selama ini kejebak beli karena covernya

    ReplyDelete
  4. wow enam belas hahaha

    mungkin akut itu bahasa slang anak muda jaman sekarang mbak yang menandakan kalau si tokoh itu sudah "nyandu", sudah akut, sudah sakau hehe

    ReplyDelete
  5. @selvi : ooowww...gitu. Ketahuan amat kalo aku nggak gaul ya X)

    ReplyDelete
  6. Replies
    1. Salam kenal juga. Makasi udah mampir ke sini :)

      Delete