Sunday, October 7, 2012

Kala Kali

Judul : Kala Kali
Penulis : Valiant Budi &Windy Ariestanty
Penerbit : Gagas Media
Edisi :Soft Cover
ISBN : 9797805816
ISBN-13 : 9789797805814
Bahasa : Indonesia
Rating : 3 bintang dari 5

Selama ini, saya gak pernah tertarik beli Gagas Duet. Karena (menurut info), Gagas Duet tuh bukannya 2 penulis berkolaborasi bikin 1 cerita yang sama. Tapi masing-masing penulis membuat 1 cerita dan kedua cerita itu tidak berhubungan.
Lha? Buat apa bikin duet kalo gitu? Kebayang deh, pasti ceritanya bakal pendek, mirip cerpen tapi panjangan dikiiit (ini ambigu banget sih bahasanya XD). Intinya: gak minat beli.

Tapi niat teguh itu pun goyah saat tahu Vabyo terlibat dalam proyek duet. Mau gak beli, kok ya penasaran pengen baca. Lagian udah tanggung koleksi buku yang bersangkutan. Akhirnya nekat deh ikut beli. (PS : Ini kenapa preludenya panjang ya?)

Sewaktu pertama liat bukunya, ada dialog gini sama diri sendiri : "Yiha...beneran keren nih cover. Sekeren di gambar." #MenurutNgana
Tapi kegirangan itu langsung menguap begitu sadar covernya dipakein lidah ato elemen tambahan ato apalah itu yang bikin jadi susah disampul. Asli repot buanget nyampulin itu buku.

Okeh...mari masuk ke isi buku.
"Hidup mah dinikmatin ajah. Banyak-banyak berbuat baik, jadi pas mati juga insya Allah dalam keadaan baik. Lagian, kalo hidup malah fokus mikirin mati terus, bisa jadi yang mati duluan malah orang-orang di sekitar kita, kan? Jadi mending perhatiin mereka yang sayang kamu." -Ramalan Dari Desa Emas-

Kisah pertama berjudul Ramalan Dari Desa Emas buah karya Vabyo, berkisah tentang Keni Arladi yang akan berusia 18 tahun. Keni ini tipe anti mainstream rupanya. Jadi bukannya ngerayain ultah bareng temannya ato keluarganya, ato bikin video trus unggah di youtube, ato apalah pokoknya, Keni memilih 'tuk menyepi di Desa Sawarna.

Awalnya rencana itu tampak mulus, sampai Keni bertemu bocah jago ramal yang (pastinya) meramalkan dia akan meninggal sebelum usianya 18 tahun. Keni sih berusaha untuk cuek, tapi setelah melihat betapa kesialan (dibarengi maut) selalu mengintai pasca diramal, dia pun terpengaruh. Dan dimulailah usaha pelarian diri Keni yang rada mirip Final Destination. Tentu semua itu diceritakan dari sudut pandang Keni yang cuek, rada sinis dan tengil.

Ceritanya enak dibaca sebenernya, mengalir dan pace-nya cepat. Endingnya juga seru dan gak ketebak.
Biar pun karakter Keni cuek gitu, tapi gak nyebelin untuk dibaca karena Vabyo membalutnya dengan humor kenes-namun-kadang-garing ala Vabyo.

Bagian mengganggu dari cerita ini adalah gaya bahasanya yang setipe banget dengan gaya bahasa Kedai 1001 Mimpi (yang juga berarti gaya bahasa Vabyo di twitter dan blog). Rasanya seperti Vabyo sendiri yang bercerita dan bukannya Keni.
Ada pikiran gini selama membaca :
"Oh si Vabyo sekarang jiper sendiri gegara dia kesasar di hutan. Eh? Apa? Siapa yang kesasar? Oh Keni toh, bukan Vabyo. Ah tapi masa sih? Vabyo itu mah. Liat dong gaya bahasanya yang berima, itu kan gaya Vabyo."
"Hah? Apa katanya? Keni cewek? Ah now I'm sure you're lying."


Iya...saya gagal membayangkan Keni sebagai cewek. Gaya bahasa, berpikir, dan sebagainya si Keni tidak membuat saya nangkep aura ceweknya.
Apa karena si Keni tomboy? Atau lebih tepatnya : apa begini gaya pikir remaja cewek tomboy 18 tahun jaman sekarang? Mungkin. Toh saya memang gak tahu apa-apa tentang itu.

Ato memang Vabyo yang gak mampu menciptakan karakter cewek dan mendalaminya?
Bukan ah. Di Bintang Bunting dia berhasil. Di Joker sekalipun, karakter Aulia masih berasa girly-nya (walopun rada nyaru).
Apa karena gaya penulisan Vabyo sudah berubah? Ada jeda 4 tahun antara Bintang Bunting dan novel ini, dan sangat wajar kalo gaya penulisan seseorang berubah.
Yah mungkin saja.

Tapi ini bikin saya jadi penasaran buat baca karya Vabyo selanjutnya. Jadiii...ayo kita tunggu MENUJUH \(^o^)/.
PS : Saya udah PO tuh buku lho (iyaaa...emang ini pamer kok ;p)

Sementara itu, 3 bintang untuk Ramalan Desa Emas-nya Vabyo.
"Hidup tak tertebak. Seperti permainan gundu dan dadu. Terkadang, aku takut itu... Bahkan ketika kita merasa segala sesuatu telah ada di genggaman, kondisi bisa berbalik." -Bukan Cerita Cinta-
Di bagian ke-2 ada "Bukan Cerita Cinta" dari Windy Ariestanty.
Bertutur tentang seorang Bumi yang editor, yang memandang hidup secara filosofis juga persahabatannya dengan Akshara, seorang penulis impulsif dan sedang jatuh cinta dengan Bima.

Bumi yakin kalo Akshara tidak sungguhan mencintai Bima. Sementara Akshara berkeras sebaliknya. Hingga dibuatlah taruhan yang berpuncak pada ulang tahun Akshara. Pada hari H akan dilihat, apakah Akshara masih bersama dengan Bima. Sebaliknya, Akshara ingin Bumi datang ke ulang tahunnya bersama pacar baru.
Kehadiran teman Akshara yang bernama Koma seperti datang tepat pada waktunya. Perempuan tanda baca itu berhasil memikat Bumi dengan tawanya.
Lalu kisah pun mengalir dari penuturan Bumi tentang Akshara, tentang Koma. Pendapat Bumi tentang mereka berdua, tentang filosofi cinta dan diskusi-diskusi kaya makna antara ketiga tokoh tersebut.

Kebalikan dengan cerita Vabyo yang pace-nya cepat, cerita milik Windy ini justru terasa lamban. Sangaaaaatttt lamban.
Inti cerita sebenarnya sependek yang saya jabarkan di atas, tapi Windy memperpanjang cerita dengan berbagai penuturan yang gak penting.
Kadang-kadang pengarang sering mengajak pembacanya muter-muter nggak keruan hanya karena si penulis kepingin aja memasukkan jalinan peristiwa atau dialog yang kalau ditanya kenapa dia melakukannya, jawabannya adalah, "Because I like it."
source
Saya menangkap kesan yang sama dari cerita ini, semacam : "Nih biar loe nangkep cinta itu kayak apa, gw ceritain tentang Elizabeth Barrett Browning. Nih Anna Karenina. Masih kurang? Ini nih sekalian kisah si Cupid & Psyche. Oh iya, gw bahas Daido juga deh."
Apa Windhy kehabisan ide mo dibawa kemana ini cerita hingga dimasukkan lah bagian ini? Nggak mungkin rasanya ah.

Selama membaca semua filler itu, saya nanya sendiri : "Ini buku konfliknya apa sih? Klimaksnya dimana?"
Dan sampe akhir, saya gagal nemu klimaksnya. Semua datar, flat.
Okeh, saya nangkap kok adegan mana yang dimaksudkan jadi klimaks, tapi buat saya itu pun sama datarnya dengan adegan sebelum dan setelah itu.

Dan saya juga merasa gak sreg dengan tokoh-tokohnya. Karakterisasi mereka kurang kuat untuk saya. Cuma Komang yang menarik dengan bubbly personality-nya.
Akshara? Datar.
Bumi? Sama datarnya.
Bima? Datar juga (ya walo si Bima emang jarang muncul sih).

Terus, klo di cerita Vabyo saya gagal membayangkan Keni sebagai wanita, di "Bukan Cerita Cinta" saya susah membayangkan Bumi sebagai pria. Susah namun bukan berarti gak bisa.
Ada saat tertentu sisi pria Bumi kelihatan. Tapi most of the time, saya dapat kesan yang sama dengan Farah : si Bumi ini cewek androgyny yang naksir sama si Akshara. X))

Untunglah, cerita Windy ketolong dengan untaian kalimat yang puitis dan penuh makna. Membaca cerita Windy memang gak bisa skimming supaya dapat meresapi makna kalimatnya. Dan sungguh, gaya bahasa inilah yang bikin saya bertahan menyelesaikan Kala Kali. Walo pun dengan rasa jenuh dan sakit kepala yang kerap datang setelah baca 4-5 lembar. (hehehe).
Yap, saya menikmati dibikin sakit kepala sama Windy. Rada masokis emang XP (ps : mudah-mudahan gak ada anggota 50United yang baca ini)

Saya belum pernah baca satu pun karya Windy (kecuali The Journeys) walo udah menimbun ketiga bukunya di rak saya . Saya tahu, dari review rekan-rekan, Life's Traveller punya gaya bahasa yang puitis dan filosofis juga. Dan kemungkinan, bisa bikin saya dapat sakit kepala yang nikmat lagi. (halah!)

Tapi saya kok malah jadi penasaran sama Shit Happens ya. Pengen tahu aja apa memang Windy selalu menulis dengan gaya seperti ini, meskipun dalam novel remaja.
Hmmm...*menatap Shit Happens yang masih terbungkus rapi selama sekian tahun*
Yeah! Let's take a look later. \(^o^)/ (ps : much later I mean)

Dan saya juga gagal paham dengan tagline : Hanya waktu yang tak pernah terlambat.
Bisa gak sih Gagas berhenti bikin tagline dan-atau blurb yang emang puitis, keren tapi menyesatkan dan maknanya gak masuk ke cerita?

Kesimpulannya: 2 bintang untuk Bukan Cerita Cinta dan 3 bintang untuk Ramalan Dari Desa Emas.
Totalnya 2,5 bintang. Dibulatkan 3 bintang untuk covernya.


PS : Yang ini sih unek-unek saya untuk Mbak Windy. Gak penting-penting amat untuk dibaca oleh yang lain, but I hope someday Windy would read this. Buat yang lain, better read it only if you can stand my lebayness (apa pun arti kata itu) XD

    

   

    SEKADAR CURHAT:   

   

   

   Pada salah satu scene di Bukan Cerita Cinta, ada bagian Akshara sakit dan berkata : "Kata dokter, aku sakit gejala typhus (ato tifoid?)."

Well, there's no such thing as "gejala thypus". Gak akan ada dokter yang kasi diagnosa "gejala typhus", setidaknya untuk dokter jaman sekarang.

Para dosen dan juga bos saya bisa murka kalo tahu bahwa kami (para GP unyu ini) kasi diagnosa gejala typhus.
Alasannya?
Karena pemberian kata "gejala" di penyakit ini menimbulkan reaksi yang "aneh" pada pasien.

1. Yang mendapat kesan kalo typhoid itu sakit ringan saja (padahal jelas salah)
Mereka di golongan ini akan cuek dengan bahaya typhoid. Rata-rata pada mikir : "Ah gejalanya aja cuma gini. Demam dan mual doang. Cemen lah. Istirahat di rumah beberapa hari juga beres. Penyakit aslinya juga gak berat-berat amat dong."

Atau yang ke-2, malah jadi menganggap serius "gejala-typhus"nya. Pasien yang di golongan ini akan mengonsumsi antibiotik (yang sebenarnya tidak perlu) atau kapsul cacing tanah (yang lebih tidak perlu lagi dan bisa bahaya).
Kenapa gak perlu? Karena sebagian besar kasus "gejala typhus" itu sebenarnya infeksi virus yang lebih ke self limiting diseases.

Saya gak tahu sejak kapan dan siapa yang pertama kali menciptakan salah kaprah macam gejala typhus ini. Salah satu dosen saya berteori, mungkin penyebabnya dari kalangan dokter sendiri di jaman dahulu kala. Saat ilmu kedokteran belum semaju sekarang, pemeriksaan laboratorium masih terbatas dan penyakit typhoid masih jadi momok. Sehingga semua orang yang punya keluhan mirip-mirip typhoid langsung dianggap "gejala typhus" dan diperlakukan sama seperti pasien typhoid.

Jelas ini salah kaprah yang harus diluruskan. Dosen yang sama juga bilang : "Generasi kalian ini emang korban dari generasi saya. Sudah terlalu banyak salah kaprah yang dibikin sama angkatan saya. Gejala typhus ini salah satunya. Salah duanya ya tentang antibiotik. Tapi tugas kalian buat meluruskan. Demi generasi di bawah kalian nanti dan demi kalian juga."

So...yep, we're trying. I'm trying. Dan jelas nggak gampang meluruskan kesalahpahaman yang sudah berkembang lama. Tentu saja kami mengandalkan bantuan pihak-pihak lain seperti penyuluhan, media-media, dan termasuk juga buku. Pokoknya apa pun yang bisa menjangkau masyarakat luas.
Dan karenanya menyebalkan ketika salah satu sarana yang bisa mendidik seperti novel malah bantu menyebarkan kesalahan ini.

Saya ngerti Windy bukan orang medis. Dan sebenarnya gak papa juga kalo dia mo nulis "gejala typhus" di ceritanya. Yang mengganggu adalah bagian "Kata dokter..." di kalimat itu, yang seolah menegaskan dokter mengakui ada penyakit seperti itu.
So next time, be more careful, mbak :)

Fyuh...curhat yang panjang cuma karena dua kata "gejala typhus" doang ya. Mana berasa lebay pula (iyaaa...saya juga tahu kok kesannya lebay banget). Ya maka itu saya hide ;p
   

   

   

7 comments:

  1. hazeggg ak bisa pinjem menujuh nih, hihihi. pinjem ini juga dong wi sekalian Joker ya *maruk* oh ya sama klik juga *yg menang aja belum sampe bukunya, yang penting pesen dulu* :))

    ReplyDelete
  2. @Sulis : Yg ini lagi dipinjem adikku, lis. Tunggu dia balikin ya. Sip...Klik dan Joker-nya ntar disimpenin.

    ReplyDelete
  3. ok, ngirimnya setelah kamu selesai baca bukuku aja, g ngebet banget kok, pesen aja dulu, hihihi

    ReplyDelete
  4. Buku Life Traveler Windhy itu juga ga aku review karena bingung gimana mau ngereviewnya :P

    Ho oh dia di LT juga lambat bgt alurnya.. mana maju mundur segala kan. Untungnya bagus dan puitis gitu bahasanya. =))

    ReplyDelete
  5. sama, tadinya aku pikir juga gagas duet itu 2 penulis bikin satu cerita bareng2. dan beli buku ini karena penulisnya. tapi rada kuciwa juga sih. apalagi baca cerita kedua... gak-ngerti-sama-sekali. pusingggg... :D padahal aku suka sama Life Traveler lho...

    ReplyDelete
  6. masokiiiisss... *lapor pak pres biar dia ikutan baca x)

    ReplyDelete
  7. sempet 'naksir' tulisannya Vabyo di The Journey, tapi pening pas awal baca Kedai 1000mimpi, ngga kuat sama kegaringannya :)

    kalo windy, cuma pernah baca Life Traveler doang. so far, sukaa deh.

    ReplyDelete